Minggu, 09 November 2008

SIMBOL DALAM TEKS PANTUN MELAYU

SIMBOL DALAM TEKS PANTUN MELAYU

Sahril
Balai Bahasa Medan, Depdiknas

Abstrak
Tulisan ini menganalisis simbol yang terdapat dalam teks pantun Melayu. Analisis dilakukan melalui tiga aspek, yaitu yang pertama: simbol secara literal, yang kedua; simbol yang berdasarkan makna yang tersirat disebaliknya, yaitu simbol yang difokuskan berdasarkan penggunaannya dalam masyarakat Melayu, dilihat dari dimensi penggunaannya dalam peribahasa Melayu. Yang ketiga: simbol yang diberikan makna yang baru oleh penuturnya.


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Simbol berupaya menggambarkan sesuatu pemikiran masyarakat melalui bahasanya, atau juga berbagai peristiwa tertentu dalam masyarakat tersebut. Oleh yang demikian simbol dapat dilihat melalui kehidupan seharian manusia, dan simbol dapat bersifat lokal atau pun universal. Simbol lokal hanya dipahami oleh masyarakat yang berada dalam lingkungan budaya yang sama, sementara simbol universal lebih luas sifatnya.
Secara etimologi, perkataan simbol berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'symbolon' (Alex Preminger (ed.) 1974: 833 dalam Chadwick, 1991:5). Perkataan simbol dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, yaitu 'symbol’ yang membawa maksud sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, lambang atau tanda (Kamus Dewan 1996:1281).
Menurut Peirce (1965:249), simbol ialah tanda yang merujuk kepada objek, yang menunjuk kepada peraturan (law), biasanya merupakan gabungan ide‑ide umum (general ideas). Jadi, simbol merupakan salah satu jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Dengan demikian, simbol merupakan ekuivalen dari pengartian Saussure tentang tanda. Istilah simbol biasa digunakan secara luas dengan pengartian yang beraneka ragam yang harus dipahami secara berhati‑hati (Budalaman, 1999:109).
Simbol sebagai salah satu jenis tanda mempunyai ciri yang menunjukkan hubungan antara tanda dengan 'tanda dirujuk'nya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku secara umum (Aart van Zoest, 1993:25) atau dikatakan sebagai tanda yang berhubungan dengan objek tertentu semata‑mata karena kesepakatan (Cobley & Litza Janz, 1997:33). Hubungan itu merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional (Sudjiman & Aart van Zoest, 1992:9), dan tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Jadi hubungannya adalah bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi masyarakat (Pradoppo, 1993:121--122).
Simbol sebagai sejenis tanda yang bersifat arbitrer atau sewenang­-wenang kaitannya antara tanda itu dengan maknanya membawa maksud tidak ada kaitan secara awal antara tanda itu dengan apa yang diwakilinya (Musa, 1994:44-‑45). Kaitannya adalah buatan manusia, dan penerimaan perkaitan tersebut adalah secara konvensional atau penerimaan umum (ibid.: 45).

1.2 Perumusan Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa sebuah pantun yang terdiri atas empat baris, di mana dua baris pertama berupa sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat berupa isi. Oleh sebab itu, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya terpokus pada isi pantun yaitu simbol yang terdapat pada baris ketiga dan keempat dengan persoalan sebagai berikut.
(1) Simbol-simbol apa saja yang terdapat dalam teks pantun Melayu?
(2) Bagaimana pemakaian simbol-simbol itu sampai sekarang?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini bertujuan untuk:
(1) mengetahui simbol apa saja yang terdapat dalam teks pantun Melayu,
(2) mengetahui pemakaian simbol-simbol itu sampai sekarang oleh masyarakat Melayu Deli.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
Keupayaan manusia berbahasa membolehkan mereka mencipta berbagai bentuk dan jenis simbol dan keupayaan ini merupakan "the highest grade of human faculty' (Tylor, 1987 dalam Awang, 1998:2002). Keupayaan ini membolehkan kebanyakan pengetahuan, pemikiran, perasaan dan tanggapan manusia terhadap sesuatu dipancarkan dalam bahasanya. Walaupun bahasa memainkan peranan penting, ekspresi simbolik bukan saja dapat ditunjukkan melalui bahasa semata‑mata karena simbol‑simbol juga dapat muncul dalam berbagai bentuk lain separti peristiwa‑peristiwa umum, perbarisan, kematian, ritual, dan sebagainya. Bahkan sebagai aktivitas mental, proses membentuk dan menggunakan simbol itu dapat dikenakan kepada apa saja. Ini bermakna apa saja dapat dijadikan simbol, yakni segala objek, peristiwa, bunyi­-bunyi bahasa, tulisan, perhiasan, dan sebagainya, yang manusia berikan makna tertentu padanya. Sebagai alat yang membantu manusia membuat abstraksi yang kemudian dapat digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk tujuan ekspreksi, komunikasi, pengetahuan dan kawalan (Firth 1973 dalam Awang, 1998:109)
Simbolisme juga tidak dapat dipisahkan dari budaya. Levi Strauss (1950) menganggap semua budaya itu sebagai satu himpunan simbol, yang utamanya ialah bahasa dan diikuti oleh peraturan‑peraturan perkawinan, hubungan ekonomi, seni, sains dan sebagainya. Ini bermakna keupayaan manusia mencipta atau membentuk budaya itu bergantung kepada keupayaan mereka mencipta simbol (Awang, 1998:106‑-107).
Dengan kata lain, simbol ialah penjenisan lambang‑lambang yang dirujukkan kepada objek asal dengan satu peraturan yang khusus, ia digabung bersama oleh ide umum yang membawa kepada penjelasan simbol tersebut. Contohnya yang jelas ialah keledai dengan bodoh (Muradi, 1989:131). 'Keledai' ialah simbol yang menyiratkan makna kebodohan atau kedunguan, yaitu merujuk sifat bodoh seseorang itu. Di sini juga jelas bahwa simbol merujuk kepada sebuah tanda yang dibawa oleh penanda dengan memberi petanda (arti, makna, dan konsep) yang mewakili sesuatu (Sikana, 2001:202). Selain keledai, terdapat juga beberapa ekor binatang lain yang menjadi simbol kebodohan, misalnya kambing, lembu, Pak Pandir, unta di samping kata‑kata seperti bahlul, bodoh, bangang, dan sebagainya (Saman, 2002:199). Jelas bahwa binatang telah digunakan oleh masyarakat Melayu sejak dahulu sebagai simbol untuk menunjukkan kebodohan seseorang.
Berdasarkan hubungan arbitrer dan hubungan serta terbentuk secara konvensional itu, simbol dapat bersifat lokal dan universal. Simbol yang bersifat lokal lebih merujuk kepada budaya masyarakat itu sendiri. Masyarakat Melayu misalnya, sering menggunakan simbol dalam kehidupan seharian. Warna sebagai contoh, telah digunakan untuk memanisfestasikan hasrat. Warna putih dapat membawa berbagai makna seperti suci, bersih, atau tidak berdosa, dikaitkan dengan sesuatu yang baik dan positif (Saman, 2002:199).
Merujuk kepada budaya masyarakat Melayu sendiri, masyarakat Melayu kaya dengan berbagai simbol yang memberikan makna tertentu. Misalnya biawak (Hamid & Mariam Salim, 2006:88) ialah sejenis binatang yang hidup liar di dalam hutan, kebun, dan si sekitar rumah. Dalam masyarakat Melayu, ia merupakan simbol yang dikaitkan dengan perilaku buruk, separti tidak membalas budi, pendengki dan sebagainya (Ibid.). Biawak juga memberikan simbol kecelakaan atau sial. Masyarakat Melayu mempercayai bahwa perkara yang buruk mungkin berlaku sekiranya seseorang berjumpa biawak. Simbol biawak turut digunakan oleh orang Melayu sebagai simbol seseorang yang tidak boleh dipercayai (munafik) atau percakapan yang selalu berubah-ubah. Ini dapat dilihat dari peribahasa Melayu "Lidah bercabang bagaikan biawak" atau "Lidah biawak".

Terdapat juga simbol yang bergantung pada tempat simbol itu digunakan. Misalnya 'sirih' merupakan simbol pengobatan masyarakat Melayu jika diulurkan dalam bekas kepada pawang atau dukun, dan merupakan simbol dalam adat peminangan jika sirih digunakan dalam peminangan. Sirih juga dianggap sebagai simbol budi bahasa dalam masyarakat Melayu. Dalam masyarakat Melayu lama yang kuat berpegang dengan adat, mereka akan menghidangkan sirih kepada tetamu, yang datang berkunjung ke rumah. Masyarakat Melayu Deli, kebiasaannya jika ada keluarga bertandang ke rumah orang kampung untuk menjemput mereka ke majelis atau kenduri, mereka akan membawa sirih bersama‑sama mereka. Sirih itu kemudian akan dimakan oleh tuan rumah yang diundang itu.
Simbol, selain menggambarkan budaya sesuatu masyarakat dan bangsa itu, terdapat juga simbol yang bersifat universal. Tanda‑tanda jalan raya ialah simbol yang bersifat universal. Setiap bangsa yang mengenal simbol jalan raya akan memahami maksud simbol itu. Misalnya tanda lalu lintas separti tanda berhenti, tanda rawan kecelakaan, tanda kawasan berbahaya dan warna merah, kuning, dan hijau pada lampu jalan.
Simbol dapatlah dikatakan sebagai satu kaedah atau cara yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang abstrak dan unggul. la juga merupakan suatu kebenaran atau keadaan yang berkaitan dengan kehidupan manusia berdasarkan latar sosio-budaya sebuah masyarakat untuk menggambarkan sesuatu yang mewakili ide­-ide ataupun keadaan pikiran seseorang.
Dalam karya‑karya kreatif, pembaca harus menggunakan daya interpretasinya berdasarkan latar belakang budaya sesuatu masyarakat, ilmu pengetahuan, dan pengalaman mereka untuk membongkar pemikiran yang ingin disampaikan oleh pengarang di balik simbol‑simbol yang digunakan. Dalam teks pantun Melayu ditemukan simbol-simbol tradisional juga simbol-simbol modern.


2. Metode Penelitian
2.1 Sifat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan simbol-simbol dalam teks pantun Melayu, penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif.
2.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan pada tahun 2008. Namun demikian, pengamatan telah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya.
2.3 Sumber Data dan Data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teks pantun Melayu Deli di Medan yang telah direkam dan dideskripsikan beberapa waktu yang lalu. Data dari sumber lisan diperoleh dari tuturan-tuturan langsung pada saat upacara adat, seperti perkawinan, sunat rasul, peresmian suatu tempat, dan kehidupan sehari-hari pada masyarakat Melayu Deli di Medan.

2.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode perekaman dan pencatatan, yaitu metode yang pelaksanaannya dilakukan dengan merekam dan mencatat pengucapan pantun (Sudaryanto, 1988:2—5)20. Dalam ilmu sosial metode ini dapat disejajarkan dengan metode observasi, baik langsung maupun tak langsung.

2.5 Metode Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Proses yang dilakukan melalui tiga langkah, yaitu penyeleksian data, pengklasifikasian data, dan penganalisisan data berdasarkan teori yang dipilih.

3. Analisis Simbol Dalam Teks Pantun Melayu
3.1 Pengertian Pantun
Pantun ialah bentuk puisi Melayu yang asli dan unik. Ia merupakan sumber khazanah dalam kehidupan masyarakat Melayu, baik dari segi pemikiran, kesenian, maupun nilai-nilai moral dan sosialnya. Akalbudi orang Melayu dapat dilihat dalam pantun yang diungkapkan secara spontan dengan begitu ringkas dan padat. Ini termasuklah kebijaksanaan dan ketangkasannya merajut makna yang dalam dan mengukir gerak hati serta lukisan rasa yang indah bersama penampilan unsur-unsur alam.
Pantun wujud dalam pelbagai bentuk dan wajah, dari pantun dua kerat dan pantun empat kerat sehingga ke pantun berkait. Genre ini menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat Melayu, justeru diungkapkan dalam permainan anak-anak, dalam percintaan, upacara peminangan dan perkawinan, nyanyian, dan upacara adat. Pendeknya setiap tahap kehidupan orang Melayu, yakni dari dalam buaian hingga ke alam percintaan dan hari-hari tua, dibantu dan dihiasi oleh pantun.
Pantun merupakan sastra lisan yang lahir dan berkembang dalam kalangan masyarakat yang akrab dengan alam, dan diwarisi dari generasi ke generasi . Apabila muncul teknologi percetakan pada akhir abad ke-19, koleksi pantun telah diterbitkan dalam pelbagai dialek Melayu, seperti Betawi, Minangkabau, Peranakan Jakarta dan Melaka, dan bahasa-bahasa seperti Ambon dan Aceh. Kini terdapat kira-kira seratus buah manuskrip pantun yang dikumpulkan di perpustakaan seperti di Jakarta, Leiden, Paris, London, dan Berlin. Kebanyakan pantun tersebut dikutip pada akhir abad ke-19 dan dimuatkan dalam pelbagai koleksi oleh para peneliti dari Inggris, Belanda, dan Jerman.
Dapat disebutkan bahwa pantun ialah genre yang tersebar luas. Di alam Melayu, bentuk ini hidup subur dalam sekitar 30 bahasa dan dalam 35 dialek Melayu. Orang-orang Melayu diaspora pula telah membawanya hingga ke Sri Langka, Kepulauan Cocos, Suriname, dan Belanda. Kehadiran pantun di Eropah dan Amerika telah menarik perhatian penyair-penyair hingga menyebabkan timbulnya genre pantun dalam kesusastraan Barat mulai abad ke-19.
Kini pantun telah berhasil mengikat imajinasi dan peneliti di dalam dan di luar bidang sastra, di alam Melayu dan juga di luarnya. Pantun terus diajar dan diselidiki di pusat-pusat Pengajian Melayu; seminar dan bengkel tentangnya juga terus diadakan.

3.2 Simbol
Setelah diseleksi sebanyak 100 bait pantun, diperoleh 44 bait pantun yang hendak dilihat unsur simbol di dalam isi pantun tersebut. 44 bait pantun tersebut mengandung simbol yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian, di antaranya; (a) berupa isi lengkap dari pantun tersebut sebannyak 11, (b) berupa klausa dan kalimat sebanyak 29, dan (c) berupa frasa sebannyak empat.
Tabel 1: Seleksi Data
Data Awal
Pantun Yang Diseleksi
Hasil Yang Telah Diseleksi
Isi
Klausa dan kalimat
Frasa
100
44
11
29
4

3.2.1 berupa isi lengkap
(1) asam di darat ikan di laut/dalam belanga bertemu jua
Walaupun saling berjauhan, bahkan tidak pernah bertemu atau kenal sama sekali, apabila sudah jodoh semuanya dapat terjadi. Isi pantun ini menyimbolkan masalah perjodohan.
(2) tembaga buruk di mata orang/intan berkarang di hati saya
Menyimbolkan bahwa walaupun sesuatu itu dipandang oleh orang lain tidak baik, akan tetapi bagi seseorang hal itu dianggap baik dan berguna.
(3) tujuh tahun gunung terbakar/baru sekarang nampak apinya
Betapa lamanya menyembunyikan sesuatu hingga tidak diketahui orang lain. Namun akhirnya, diketahui juga oleh orang lain.
(4) tunduk kepala jatuh ke lantai/jari sepuluh menjunjung duli
Menyimbolkan penghormatan kepada seseorang dengan menundukan kepala sembari mengangkat kedua belah tangan sebagai penghormatan.
(5) adat pinang pulang ke tampuk/adat sirih pulang ke gagang
Menyimbolkan bahwa sesuatu itu akan kembali kepada asal mula.
(6) elok diturut resmi padi/semakin berisi semakin tunduk
Menyimbolkan mengenai seseorang yang berilmu, semakin berilmu ia semakin bijaksana.
(7) orang tamak selalu rugi/macam anjing dengan bayang
Menyimbolkan bahwa orang yang kikir, pelit, atau tamak itu selalu dikejar bayangan, ketakutan sendiri. Takut hartanya akan habis.
(8) apa guna keris di pinggang/kalau tidak berani mati
Menyimbolkan seseorang yang penakut, walaupun senjata atau kekuatan sudah di tangan namun karena rasa takutnya lebih kuat, membuat ia tidak bisa apa-apa
(9) tuan umpama ayam pungguk/segan mencakar rajin mematuk
Menyimbolkan bahwa seseorang yang kelihatannya seperti tidak mempunyai nyali.
(10) kumbang mengidam nak seri bunga/bunga kembang di puncak gunung
Menyimbolkan seseorang yang mendambakan sesuatu, tetapi apa yang didambakannya itu berada jauh dari jangkauannya.
(11) Kalau kail panjang sejengkal/Jangan lautan hendak diduga
Jika usaha itu masih kepalang tanggung janganlah diharap hasilnya memuaskan.

3.2.2 berupa klausa dan kalimat
(1) bercerai kasih bertalak tidak
Fenomena dalam kehidupan rumah tangga, di mana seorang suami meninggalkan anak dan istrinya /bercerai kasih/, tetapi tidak menceraikannya /bertalak tidak/. Jadi klausa pada pantun ini menyimbolkan tidak adanya tanggung jawab seorang suami.
(2) kering lautan tetap kunanti
Klausa ini mempunyai simbol tentang kesetiaan seseorang, walaupun ia tahu sesuatu yang dinantinya itu tidak akan mungkin terjadi. Klausa ini menyimbolkan akan kesetiaan seseorang.
(3) biar bertahun di lambung ombak
Walaupun kehidupan yang dihadapinya begitu berat, namun ia tetap bisa bertahan. Menyimbolkan ketabahan seseorang.
(4) burung terbang menyerah diri
Merupakan simbol dari kehebatan seseorang.
(5) di dalam air badan berpeluh
Sesuatu yang sangat paradoks sekali, karena pada situasi yang seharusnya tidak terjadi, dapat terjadi dikarenakan sesuatu yang menakutkan.
(6) bakar air ambil abunya
Menyimbolkan sesuatu yang tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dilakukan.
(7) lupa kain lupakan baju
Menyimbolkan bahwa seorang kekasih atau orang yang sangat dicintai itu, boleh melupakan yang lainnya yang bersifat materi, tetapi jangan melupakan orang dicintai.
(8) hujan ribut dapat ditangkal
Menyimbolkan bahwa betapa pun besarnya rintangan dapat dihadapinya, akan tetapi apabila hati sudah jatuh cinta apakah tidak ada yang bias mengatasinya, kecuali cintanya itu diterima oleh orang yang diidamkannya.
(9) sanggul besar berbunga goyang
Menyimbolkan bahwa seseorang yang mengenakan sesuatu tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
(10) kuntum kasturi tangkainya embun
Sesuatu yang sangat dipuja ini, ditujukan untuk seseorang yang dicintai atau kekasih.
(11) tuan umpama minyak yang penuh
Menyimbolkan bahwa seseorang itu sudah memiliki segalanya di dunia ini dan juga bekal untuk akhirat.
(12) hancur luluh tulang dan daging
Menyimbolkan bahwa tulang dan dagingnya boleh hancur, tetapi kesetiaannya tetap abadi.
(13) emas perak kebesaran dunia
Menyimbolkan bahwa di dunia ini yang paling dicari dan diutamakan oleh orang adalah materi atau harta benda.
(14) adat pusaka berpedoman kitab
Menyimbolkan bahwa adat dan tradisi yang baik itu harus berpedoman kepada Al Quran. Kata ’kitab’ bagi masyarakat Melayu berarti ’al quran’.
(15) hina besi karena karat
Menyimbolkan bahwa manusia itu bias terhina karena perbuatannya sendiri.
(16) gula manis sirih menyembah
Menyimbolkan bahwa adat tradisi bias dikalahkan oleh kekayaan. Kata ‘gula’ melambangkan ‘kekayaan’, sedangkan kata ‘sirih’ melambangkan adat tradisi.
(17) biarlah buruk kain dipakai
Menyimbolkan walaupun tidak memiliki harta benda, tetapi prilaku dan budi bahasa baik dipandang orang.
(18) ibarat pohon tidak berbuah
Menyimbolkan bahwa bila hidup ini tidak memiliki ilmu pengetahuan, maka arti hidup tidak berarti.
(19) pintu berkancing rezeki datang
Menyimbolkan bahwa apabila Tuhan sudah berkehendak, yang tidak mungkin terjadi bias terjadi juga.
(20) layar dikembang kemudi dipaut
Menyimbolkan bahwa apabila usaha telah dijalankan, maka hasil pasti akan didapat.
(21) bagai kerja menolak ombak
Menyimbolkan sesuatu pekerjaan yang sangat sukar dan berat untuk dilakukan.
(22) pasir sebutir jadikan intan
Menyimbolkan bahwa apabila kita memiliki ilmu pengetahuan, sesuatu yang tidak berguna pun dapat dijadikan berguna bagi kehidupan di dunia ini.
(23) ayam di sangkar disambar elang
Menyimbolkan bahwa apabila kehendak Tuhan rezeki yang sudah di tangan pun akan lepas atau hilang.
(24) karam di laut boleh ditimba
Menyimbolkan bahwa kalau gagal pada pekerjaan yang lain dapat diganti dengan pekerjaan yang lain lagi, tetapi bila gagal dalam bercinta sangat sukar untuk diganti pada yang lain.
(25) biar retak bumi kupijak
Menyimbolkan kesetiaan seseorang kepada kekasihnya.
(26) harimau di hutan lagi kutangkap
Menyimbolkan apapun rintangannya akan dihadapi.
(27) dalam telur lagikan dinanti
Menyimbolkan bahwa untuk menunggu sesuatu itu harus sabar, di sini terlihat bahwa masih berupa telur pun ditunggu.
(28)menangis mayat di pintu kubur
Menyimbolkan bahwa menyesal kemudian tiada berguna. Maksudnya sesuatu yang seharusnya dikerjakan tetapi justru diabaikan.
(29)hilang bahasa karena emas
Menyimbolkan bahwa budi pekerti yang baik dapat hilang dikarenakan mengejar harta benda.

3.2.2 berupa frasa
(1) menyunting bunga
Kata ‘menyunting’ pada masyarakat Melayu disimbolkan sebagai kegiatan ‘meminang’ atau ‘melamar’ seorang gadis. Kata ‘bunga’ adalah simbol dari seorang gadis yang cantik.
(2) sekaki payung
Sebagai simbol tempat berlindung oleh orang-orang yang memerlukan perlindungan.
(3) rambut bersimpul mati
Suatu masalah yang sangat sukar untuk dipisahkan.
(4) bulan mengambang
Menyimbolkan suatu keadaan di mana posisi bulan yang belum penuh, masih belum jelas untuk dilihat keberadaannya.

4. Simpulan
Melalui simbol yang terdapat dalam 44 teks pantun Melayu, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu simbol yang hadir dalam bentuk isi pantun sebanyak sebelas simbol, simbol yang hadir dalam bentuk klausa dan kalimat sebanyak 29 simbol, dan simbol yang hadir dalam bentuk frasa sebanyak empat simbol.


DAFTAR PUSTAKA

Awang, Hashim. 1998. Budaya dan Kebudayaan: Teori, Isu dan Persoalan. Kuala Lumpur: Citra Budaya.
Budalaman, Kris. 1999. Kosakata Semiotika, Yogyakarta: Gambiran UH.
Chadwick, Charles. 1991. Simbolisme. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Cobley, Paul dan Litza Jansz. 1997. Introducing semiotics. Victoria: Mc Pherson's Printing Group.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi‑ Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hamid, Rogayah A. dan Mariam Salim (peny). 2005. Kepustakaan Ilmu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ismail, Ahmad. 1960. 100 Pantun Peribahasa. Terengganu: H.C.Mohhd A.Rahman.
Muradi, Supardy. 1989. Teori‑Teori Kesusasteraan Mutakhir: Suatu Pengenalan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Musa, Hashim. 1994. Pengantar Falsafah Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Peirce, Charles Sanders. 1965. Collected Papers Charles Sanders Peirce (Vol. I & 11). Cambridge Massachuseft: The Belknap Press of Harvard University Press.
Saman, Sahlan Mohd. 2002. Pengajian Melayu dalam Konteks Kesusasteraen Bandingan. Bangi: Persatuan Penulis Selangor.
Sikana, Maria. 2001. Teori Semiotik: Tanda Bahasa dan Wacana Sastera. Jurnal Bahasa 1 (2): 193‑212.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed.). 1992. Serba‑Serbi Semiotika, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Utama.
Van Zoest, Aart. 1993. (Terj.) Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.


Lampiran Teks Pantun:

1. Ayam disabung jantan dipautJika ditambat kalah laganyaAsam di darat ikan di lautDalam belanga bertemu jua
2. Batang selasih permainan anakDaun sehelai dimakan kudaBercerai kasih bertalak tidakSeribu tahun kembali juga
3. Beli cempedak dari juanaMari dibelah di atas tudungJika berhajat menyunting bungaJumpa wali di atas gunung
4. Berkurun lama pergi menjauhWajah kulihat di dalam mimpiKalau dah kasih sesama sungguhKering lautan tetap kunanti
5. Buah kuini jatuh tercampakJatuh menimpa bunga selasihBiar bertahun di lambung ombakTidak kulupa pada yang kasih
6. Burung merbuk membuat sarangAnak enggang meniti di payaTembaga buruk di mata orangIntan berkarang di hati saya
7. Harum baunya si bunga tanjungHarumnya sampai ke puncak gunungTuan umpama sekaki payungHujan panas tempat berlindung
8. Hujan panas turun berderaiGuruh menyambar pohon jatiKasih sayang tak boleh berceraiBagaikan rambut bersimpul mati
9. Kain cindai dilipat-lipatLipat mari tepi perigiKalau pandai Tuan memikatBurung terbang menyerah diri
10. Kalau menyanyi perlahan-lahanDibawa angin terdengar jauhKalau hati tidak tertahanDi dalam air badan berpeluh
11. Kalau tuan pergi ke bendang,Jangan petik buah rumbia,Tuan umpama bulan mengambang,Cahaya meliput serata dunia.
12. Kalau Tuan pergi ke JambiAmbil air untuk jurobatunyaKalau Tuan hendakkan kamiBakar air ambil abunya
13. Laju-laju perahu lajuLajunya sampai ke SurabayaLupa kain lupakan bajuTetapi jangan lupakan saya
14. Limau purut lebat di pangkalBatang selasih condong uratnyaHujan ribut dapat ditangkalHati kasih apa obatnya?
15. Melepuh kakiku terkena tunggul,Tunggul besar di tengah padang,Gelusuh hatiku melihat sanggul,Sanggul besar berbunga goyang.
16. Orang berhuma di Pulau BalanganAsap apinya tabun-menabunTuan laksana bunga kayanganKuntum kasturi tangkainya embun
17. Pohon sena cabangnya empatMari terbang waktu pagiKalau kena dengan makrifatBurung terbang menyerah diri
18. Sayang Laksamana mati dibunuhMati dibunuh Datuk MenteriTuan umpama minyak yang penuhSedikit tidak tertumpah lagi
19. Sayang pelanduk di luar pagarMati ditembak patah kakinyaTujuh tahun gunung terbakarBaru sekarang nampak apinya
20. Tajam tubuh si buah gadingHendaklah ikat bersama taliHancur luluh tulang dan dagingNamun kulupa tidak sekali
21. Tebang gelam tebang kenangaBatang tumbang menimpa gedungKumbang mengidam nak seri bungaBunga kembang di puncak gunung
22. Anak angsa mati lemasMati lemas di air masinHilang bahasa karena emasHilang budi karena miskin
23. Anak merak Kampung CinaSinggah berhenti kepala titiEmas perak kebesaran duniaBudi bahasa tak dapat dicari
24. Angin kencang turunlah badai Seumur hidup cuma sekali Tunduk kepala jatuh ke lantai Jari sepuluh menjunjung duli
25. Berbuah lebat pohon mempelam Rasanya manis dimakan sedap Bersebarlah adat seluruh alam Adat pusaka berpedoman kitab
26. Bunga melati bunga di daratBunga seroja di tepi kaliHina besi karena karatHina manusia tidak berbudi
27. Gadis Aceh berhati gundah Menanti taruna menghulur tepak Gula manis sirih menyembah Adat dijunjung dipinggir tidak
28. Ikan berenang di dalam lubuk Ikan belida dadanya panjangAdat pinang pulang ke tampuk Adat sirih pulang ke gagang
29. Air melurut ke tepian mandiKembang berseri bunga sendudukElok diturut resmi padi Semakin berisi semakin tunduk
30. Angin teluk menyisir pantai Hanyut rumpai di bawah titiBiarlah buruk kain dipakai Asal pandai mengambil hati
31. Dalam semak ada duri Ayam kuning buat sarangOrang tamak selalu rugi Macam anjing dengan baying
32. Dayung perahu tuju haluan Membawa rokok bersama rempahKalau ilmu tidak diamalkanIbarat pohon tidak berbuah
33. Encik Dollah pergi ka JambiPergi pagi kembali petangKalau Tuhan hendak membagi Pintu berkancing rezeki datang
34. Lagu bernama serampang lautDitiup angin dari Selatan Layar dikembang kemudi dipaut Kalau tak laju binasa badan
35. Orang haji dari Jeddah Buah kurma berlambak-lambakPekerjaan guru bukanlah mudah Bagai kerja menolak ombak
36. Padi segemal kepuk di hulu Sirih di hilir merekap junjunganKepalang duduk menuntut ilmuPasir sebutir jadikan intan.
37. Masuk hutan berburu musang Musang mati dijerat orangMacam mana hati tak bimbang Ayam di sangkar disambar elang
38. Pisau raut hilang di rimbaPakaian anak raja di JeddahKaram di laut boleh ditimbaKaram di hati bilakah sudah?
39. Apa guna kepuk di ladang Kalau tidak berisi padi Apa guna keris di pinggang Kalau tidak berani mati
40. Anak Cina bersampan kotak Muatan sarat dengan ragi Biar retak bumi kupijak Kamu takkan kulepaskan lagi
41. Kalau mengail di lubuk dangkal Dapat ikan sepenuh raga Kalau kail panjang sejengkal Jangan lautan hendak diduga
42. Limau bentan di tepi tingkap Anak-anak melempar burung Harimau di hutan lagi kutangkap Inikan pula cicak mengkarung
43. Orang menyeberang gunakan titiTiti dibuat tinggi di atas Dalam telur lagikan dinanti Inikan pula sudah menetas
44. Ada seekor burung belatuk Cari makan di kayu buruk Tuan umpama ayam pungguk Segan mencakar rajin mematuk
45. Asam kandis asam gelugur Ketiga asam si riang-riang Menangis mayat di pintu kubur Teringat jasad tidak sembahyang

Minggu, 05 Oktober 2008

BAHASA MELAYU DI SUMUT, MENELUSURI SEJARAH DALAM PEMBELAJARAN BUDAYA LOKAL


BAHASA MELAYU DI SUMUT, MENELUSURI SEJARAH DALAM PEMBELAJARAN BUDAYA LOKAL
Abstrak
Persoalan bahasa kita sedikit agak berbeda. Bahasa yang berasal dari kebudayaan kita sendiri pada umumnya ada dua, yakni bahasa etnik (daerah) dan bahasa Indonesia. Bahasa etnik lebih dominan di pedesaan dan bahasa Indonesia lebih dominan di kota-kota. Orang yang lahir dan dibesarkan di kota ada yang tidak dapat lagi berbahasa daerah, tetapi mungkin sudah dapat berbahasa asing. Jadi, jika orang Indonesia tidak dapat lagi berbahasa daerah, tetapi dapat berbahasa asing, maka orang itu sudah kehilangan salah satu kebudayaannya yang asli dan mendapat kebudayaan yang baru dari segi bahasa. Di samping itu, kekeliruan yang terjadi adalah orang lebih bangga berbahasa asing daripada berbahasa daerah. Orang seperti itu menghormati kebudayaan asing dan merendahkan kebudayaannya sendiri.
1. PENDAHULUAN
Pertanyaan yang harus dijawab oleh para ahli budaya berkenaan dengan definisi kebudayaan adalah untuk apakah kebudayaan bagi masyarakatnya atau mengapa masyarakat perlu mempertahankan kebudayaannya. Secara pragmatis, kebudayaan adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya. Oleh karena itu, kebudayaan hanya dapat membahagiakan masyarakatnya tanpa ada hubungan dengan peningkatan kesejahteraan mereka atau kadang-kadang hanya menonjol pada peningkatan kesejahteraan tanpa secara langsung memperlihatkan kedamaian pada diri mereka.
Paling tidak, ada enam hal penting yang harus dipedomani dalam meredefinisikan kebudayaan, yakni (1) segala kebiasaan yang dimiliki kelompok masyarakat, (2) pengetahuan yang ditransmisi dan dikomunikasikan secara sosial, (3) tercermin dan terwujud dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia, (4) pedoman untuk memahami lingkungan manusia dan untuk berinteraksi dalam kehidupan masyarakat, (5) harus dipelajar, dan (6) menyejahterahkan dan/atau membahagiakan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai berikut. Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan/atau kesejahteraan manusia akan punah secara alamiah.
Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin

2. PERJALANAN BAHASA MELAYU DI SUMUT

Esa elang kedua belalang
Takkan kayu berbatang jerami
Esa hilang dua terbilang
Takkan Melayu hilang di bumi

Perkembangan ilmu dan teknologi, jika tidak diimbangi dengan percepatan pengembangan kosakata/istilah dengan sungguh-sungguh, akan menimbulkan dampak luar biasa terhadap peri-kehidupan masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa asing makin mendesak ruang penggunaan bahasa Indonesia dan ini yang sekarang sedang terjadi. Kebanggaan masyarakat akan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa telah memudar. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengembalikan kewibawaan bahasa Indonesia. Salah satu langkah yang harus ditempuh adalah melalui pemanfaatan budaya daerah (Sugono, 2005). Di Nusantara setidaknya ada 726 bahasa daerah, sementara di Sumatera Utara dari jumlah suku yang ada setidaknya ada sembilan bahasa daerah, termasuk di dalamnya bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang ada di Sumatera Utara terdiri atas beberapa dialek. Tulisan ini berupaya menelusuri perjalanan bahasa Melayu yang ada di Sumatera Utara (dahulu dikenal Sumatera Timur). Untuk menelusuri hal tersebut dapat dilihat dari beberapa referensi lama.
Salah satu referensi lama itu adalah buku Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863—1947, dalam buku ini dijelaskan bahwa selama abad ke-17 hingga paruh pertama abad ke-19, Aceh dan Siak adalah dua kerajaan terpenting di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini selalu memperebutkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Sumatera Timut seperti Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Kualuh, Panai, dan Bilah. Peta-peta bahasa suku Sumatera memperlihatkan suatu jalur lebar tentang penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan. (Lihat Peta 9b oleh S.J. Esser dalam Atlas van Tropisch Nederland (Batavia, 1938). Dijelaskan bahwa pada daerah-daerah pesisir ini sudah banyak dihuni oleh pemukiman suku Karo dan Simalungun. Menurut Anderson, bahwa hanya kampung-kampung pada bagian sungai-sungai yang lebih ke hilir saja yang dihuni oleh masyarakat Islam yang berbahasa Melayu. Umumnya mereka adalah imigran Melayu dari Jambi, Palembang, dan Semenanjung Malaysia, serta beberapa keturunan dari Minangkabau, Bugis, dan Jawa. Masih menurut Anderson bahwa pada masa lampau suku Karo menghuni pantai Langkat, Deli, dan Serdang, sementara suku Simalungun di pantai Batubara, tetapi akhirnya berangsur-angsur terdesak ke hulu (daerah pegunungan), ada juga yang berbaur dengan unsur pendatang Melayu melalui perkawinan campuran. Kepala-kepala suku Melayu Batubara mengawini putri-putri kepala-kepala suku Simalungun. Di Deli terjadi perkawinan campuran antara penguasa Deli dengan putri-putri kepala suku Karo. Bekas keluarga-keluarga penguasa Asahan konon adalah keturunan Batak Toba, sedangkan di Langkat adalah keturunan Karo, tetapi telah masuk Islam sejak beberapa generasi. Pada awalnya kampung-kampung yang ada di Belawan dihuni oleh suku Karo yang tidak beragama (animisme). Orang-orang Batak yang beralih memeluk agama Islam segera mulai mengikuti adat kebiasaan Melayu, menggunakan dua bahasa, mengambil nama-nama Islam, dan menganggap diri mereka sebagai orang Melayu. Dalam sastra lisan ada sebuah pantun yang melambangkan beralihnya orang Batak menjadi orang Melayu: /bukan kampak sembarang kampak/ /kampak ini pembelah kayu/ /bukan batak sembarang batak/ /batak sudah menjadi melayu/.
Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang menganut agama Islam, berbahasa Melayu, dan mengamalkan adat-istiadat Melayu. Sehingga ada pepatah mengatakan bahwa masuk Islam (memeluk agama Islam bagi agama dan suku bangsa lain) disebut masuk Melayu. Hal ini membuka pintu kepada siapa saja untuk menjadi Melayu. Jadi masyarakat atau orang Melayu itu adalah suku bangsa secara budaya bukan secara persamaan darah turunan (geneologis). Dalam adat kekeluargaan orang Melayu menganut sistem parental atau kedudukan pihak ibu dan pihak bapak sama.
Landasan hidup masyarakat Melayu adalah ‘adat bersendi hukum syarak, syarak bersendi kitabullah’. Ini mengisyaratkan bahwa semua adat-istiadat haruslah mengacu pada hukum syarak yang berdasarkan kitabullah, al-Quran. Dalam kehidupan bernegara dikenal pedoman hidup pada masyarakat Melayu yaitu ‘raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah’. Pepatah ini memperlihatkan bahwa masyarakat Melayu sangat mendukung pemimpin yang adil dan bijaksana, tetapi tidak menyukai pemimpin yang tidak adil. Hal ini sejalan dengan sifat utama masyarakat Melayu itu, yaitu jujur dalam berdagang, berani menghadapi lautan, jarang terlibat soal kriminal, dan sangat suka kepada tegaknya hukum.
Perang Jawa (1825—1830), yang terjadi karena pemberontakan Pangeran Diponegoro, mencegah Belanda memperluas daerah di Sumatera segera sesudah tahun 1824, karena sebagian besar pasukan dan dana diperlukan di Jawa. Bagian pertama Sumatera, yang memerlukan perhatian militer, adalah daerah pedalaman Sumatera Barat di pantai barat. Di sana kaum Paderi melancarkan perang di Padang darat dan mulai memasuki daerah paling selatan, yaitu Mandailing dan Angkola, di mana pada kedua daerah banyak orang masuk Islam. Bonjol sebagai benteng pertahanan kaum Paderi direbut oleh Belanda dan lepas lagi, tetapi akhirnya diserbu lagi untuk kedua kalinya tahun 1837. Mandailing juga diduduki. Pemimpin Paderi Haji Mohamad Saleh yang terkenal sebagai Tuanku Tambusai melarikan diri ke Angkola setelah Bonjol jatuh. Kemudian Belanda menguasai daerah Padang Lawas sampai Kotapinang, kemudian menyerang Dalu-dalu di tepi Sosa. Menjelang akhir 1838, Mandaling dan Angkola serta lembah sungai Rokan dan sungai Barumun yang merupakan sebagian dari Sumatera Timur kembali berada dalam kekuasaan Belanda. (lihat “Het inbezitnemen en ontruimen van etablissemnten op de Oostkust van Sumatra, “Tijdschrift van Nederlandsch Indie (1853), bagian 2, hlm. 59—60).
Karena banyaknya protes dari kalangan pedagang Inggris yang berkedudukan di Penang, Malaysia terhadap perdagangan Belanda di Sumatera Timur, akhirnya Belanda menarik diri dari Sumatera Timur. Inggris sangat berminat mencegah setiap perluasan kekuasaan Belanda atas Sumatera Timur, terutama Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan. Pada tahun 1854, Siak terpaksa melepas kekuasaannya atas kerajaan taklukannya seperti Langkat, Deli, dan Serdang, begitu juga Asahan. Tahun 1862 Asahan menyatakan bahwa mereka berdaulat atas kerajaan kecil seperti Ledong, Kualuh, dan Batubara serta menolak mengakui kekuasaan Siak maupun Hindia Belanda. Sementara itu Tamiang dan Serdang dikuasai oleh Aceh. Tahun 1862 Netscher mengunjungi Panai, Bilah, Serdang, Deli, dan Langkat semua kerajaan ini menolak kekuasaan Siak atas kerajaan mereka. Begitu juga Deli dan Asahan. Pada tahun 1863 Aceh bersiap untuk menyerang Deli dan Asahan siap membantu Aceh begitu secara politis Serdang mendukung kebijakan itu.
Pada perkembangan berikutnya, saat tumbuhnya perusahaan-perusahaan perkebunan asing di Sumatera Timur mulailah dirintis sarana transportasi. Pembangunan jalan-jalan dari daerah mulai dilaksanakan dimulai dari perbatasan Aceh melalui Pangkalan Berandan, Tanjungpura, Binjai, Medan, Lubukpakam, Tebingtinggi, Kisaran, Rantauprapat, Kabanjahe, Labuhanbilik, Sungai Bilah, Negerilama, Labuhandeli, Kuala Tanjung, Indrapura, Tanjungtiram, Limapuluh dan seterusnya. Dampaknya bertumbuhanlah pemukiman-pemukiman besar di sepanjang jalan. Khususnya banyak dihuni oleh pendatang dari tanah Batak untuk wilayah Asahan dan Labuhanbatu. Hal ini membuat satu asimilasi kebudayaan termasuk di dalamnya bahasa. Ini sejalan dengan pandangan orang Melayu bahwa adat istiadat kebiasaan itu tidak berarti bahwa adat kebiasaan tidak bisa berubah. Jika sesuatu hal dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman, kebiasaan atau adat-istiadat tadi berubah tanpa reaksi dari masyarakat pendukung aslinya. Ini sesuai pepatah Melayu : “sekalipun air bah, sekali tepian berubah”.

3. DIALEK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN KOSAKATA

Banyaknya tumbuh permukiman ini membuat terjadinya asimilasi dalam hal kebudayaan termasuk bahasa. Di wilayah Sumatera Timur, para imigran yang datang dari luar Sumatera Timur sangat mudah beradaptasi, mereka melakukan perkawinan campuran lalu menerima lahan pertanian. Sementara di daerah Batak, para imigran sangat sukar mendapatkan lahan, karena lahan tanah merupakan milik adat (marga) tidak sembarangan dapat diberikan kepada pendatang. Kenyataan ini membuat percampuran bahasa juga begitu cepat terjadi di Sumatera Timur, walaupun masih mengacu pada akarnya yaitu bahasa Melayu. Kenyataan ini juga membuat bahasa Melayu di Sumatera Timur hadir dalam berbagai dialek, antara lain bahasa Melayu dialek Langkat yang populasinya berada di sekitar Kabupaten Langkat dan Kota Binjai. Bahasa Melayu dialek Deli/Serdang yang populasinya antara Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang. Bahasa Melayu dialek Bandarkalipah yang populasinya antara sebagian Kabupaten Deliserdang, kemudian Kabupaten Serdangbedagai, Kota Tebingtinggi, dan Pagurawan (Kabupaten Batubara), bahasa Melayu dialek Batubara yang populasinya berada di wilayah sekitar Batubara (yakni mulai Kecamatan Medangderas, Sei Suka, Air Putih, Limapuluh, Talawi, Tanjungtiram, dan Sei Balai). Bahasa Melayu dialek Asahan populasinya terpokus di Kisaran dan perbatasan dengan Kota Tanjungbalai. Bahasa Melayu dialek Tanjungbalai di sekitar Kota Tanjungbalai. Bahasa Melayu juga hadir dalam beberapa dialek di Kabupaten Labuhanbatu yaitu bahasa Melayu dialek Panai, bahasa Melayu dialek Bilah, bahasa Melayu dialek Kualuh.
Dari dialek-dialek ini sebenarnya tidak banyak perbedaan yang mencolok, hanya dari segi pengucapan beberapa kata tertentu. Misalnya di Langkat untuk menyebutkan kata ‘apa’ diucapkan ‘ape’; di Deli/Serdang diucapkan ‘maya’, di Batubara dan Asahan diucapkan ‘apo’. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya daerah-daerah ini pada mulanya dihuni oleh para imigran Melayu dari Jambi, Palembang, Riau dan Semenanjung Malaysia. Ada juga sebagian dari Minangkabau seperti di Batubara. Di daerah Batubara sampai saat ini banyak beberapa nama daerah persis sama dengan nama daerah yang ada di Sumatera Barat, misalnya ‘pesisir’, ‘limapuluh’, ‘tanahdatar’.
Pertanyaan mendasar dari segi bahasa adalah, apakah ada kosakata antara beberapa dialek Melayu yang ada di Sumatera Timur ini menyumbang pada perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Menurut Dendy Sugono daftar kata embrio bahasa di Indonesia dimulai dari catatan kosakata tertua adalah daftar kata Cina-Melayu pada awal abad ke-15 yaitu sebanyak 500 lema dan daftar kata Italia-Melayu oleh Pigafetta pada tahun 1522. Dari daftar kata berkembang ke perkamusan; kamus yang dapat dikatakan tertua ialah Spraeck ende Woord-boek, Indie Maleysche ende Madagaskarcshe Talen met vele Arabicshe ende Turcische Woorden karangan Frederick de Houtman pada tahun 1603. Dua puluh tahun kemudian (1623) Casper Wiltens dan Sebastianus Danckaerts menyusun Vokabularium ofte Woortboek naer order vanden Alphabet in ‘t Duytsch-Meleysch ende Maleysche Duytsch. Kemudian, muncullah karya orang Indonesia, Kitab Pengetahuan Bahasa, Kamus Logat Melayu-Johor-Pahang-Riau oleh Raja Ali Haji. Pada masa hidupnya pula Raja Ali Haji menulis Pelajaran Ejaan dan Tata Bahasa, Bustanulkatibina (1857). Dari pandangan ini jelas bahwa pendapat umum yang mengatakan dan telah ditasbihkan bahwa cikal bakal bahasa Indonesia itu adalah berasal dari bahasa Melayu Riau. Hal ini diperkuat bahwa kehadiran bahasa Indonesia lebih mengacu pada naskah-naskah yang sudah tertulis. Sementara di Sumatera Timur sampai saat ini tidak ada ditemukan sebuah naskah pun yang berbicara tentang ilmu kebahasaan.
Pada tahun 1994, penulis bersama Wan Syaifuddin berhasil menemukan sebuah naskah lisan tentang syair di Batubara, akan tetapi naskah lisan ini sudah banyak mengalami percampuran bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Sementara Dwi Widayati, yang meneliti variasi leksikal bahasa Melayu Asahan dengan wilayah penelitian beliau di delapan daerah yaitu Kuala Tanjung, Guntung, Masjid Lama, Limalaras, Air Joman, Bagan Asahan, Datuk Bandar, dan Sei Kepayang. Dari analisis beliau juga tidak ditemukan satu kosakata yang berarti untuk disumbangkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Nurhayati Lubis dan Zubeirsyah yang berhasil menyusun Kamus Dwibahasa Melayu Asahan-Indonesia (A—M) tidak juga ada kosakata yang dapat disumbangkan dalam kosakata bahasa Indonesia. Begitu juga T. Syarfina saat meneliti bahasa kekerabatan pada masyarakat Melayu Deli juga tidak ditemukan kosakata yang dapat disumbangkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Hermansyah dalam penelitian terhadap kalimat bahasa Melayu dialek Langkat juga tidak ditemukan apa yang diinginkan oleh bahasa Indonesia. Kesemuanya hanya bermain pada dialek saja, sementara kosakata-kosakata yang diteliti umumnya ada dan/atau sudah ada pada lema bahasa Indonesia yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Satu hal yang menarik justru pada bahasa Melayu dialek Asahan, bila kita membaca Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta sangat banyak kemiripan. Padahal jelas dalam KUBI tersebut kata-kata itu berasal dari bahasa Minangkabau, maka setidaknya untuk sementara dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu dialek Asahan sangat banyak terpengaruh pada bahasa Minangkabau sebagaimana juga yang disimpulkan oleh Dwi Widayati. Zubeirsyah juga menyimpulkan pada bahasa Melayu dialek Bandarkalipah tidak ditemukan unsur kosakata baru yang mampu disumbangkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. T. Syarfina (2003) yang meneliti bahasa Melayu dialek Bilah juga tidak hadir unsur kosakata baru. Penulis sendiri (Sahril) bersama tim pada tahun 1987 pernah meneliti bahasa Melayu dialek Panai juga hasilnya sama, hanya berkisar bermain pada dialek saja.
Namun, pada catatan buku Karl J. Pelzer ditemukan beberapa kosakata, misalnya nama tumbuhan yang mungkin hanya ditemukan di wilayah Sumatera Timur, misalnya “nibung” atau oncosperma filamentosum sejenis kayu yang banyak dibuat untuk tiang rumah dan jembatan, “nipah” sejenis tumbuhan daunnya dibuat untuk atap rumah, “bamban” atau donax arundastrum sebagai sarana untuk menjalin daun nipah itu menjadi atap, “tualang” sejenis kayu yang banyak dijadikan tempat bersarangnya lebah.
Satu hal lagi dari adat istiadat perkawinan mungkin dapat ditemukan istilah atau kosakata yang agak lain dari kosakata bahasa Indonesia, antara lain; merisik, adalah sejenis upacara menyelidiki anak gadis seseorang yang diinginkan oleh seorang pemuda. Seandainya satu keluarga mempunyai seorang gadis yang sudah akil balig dan dikehendaki oleh seorang pemuda, maka si pemuda mengabarkan secara tidak langsung kepada kedua orang tuanya. Jika mereka setuju akan calon mempelai, maka ditugaskanlah secara diam-diam seorang atau beberapa orang wanita tua yang dikenal baik oleh keluarga si gadis untuk menyelidiki, apakah baik prilakunya, rupanya, dan agamanya. Perisik dalam hal ini disebut dengan istilah ‘penghulu telangkai’. Jamu sukut, adalah upacara pemberian upah oleh pihak laki-laki kepada penghulu telangkai dan upacara jamuan makan bagi pihak perempuan yang juga sangat berterima kasih kepada penghulu telangkai yang telah menjodohkan putri mereka. Meminang, adalah upacara melamar anak gadis yang akan dijodohkan dengan seorang pemuda yang sudah disepakati pada saat merisik. Ikat janji, adalah upacara penetapan hal-hal yang disepakati oleh kedua belah pihak ketika pada upacara meminang. Misalnya penetapan berapa jumlah uang antaran (uang lamaran), “uang hangus” (uang cuci kaki) untuk biaya peralatan pengantin perempuan, ikat tanda (berupa cincin), dan hari pernikahan. Berinai, yaitu memberi warna pada kuku dengan daun inai atau daun pacar. Berandam dan mandi berhias, adalah upacara memotong rambut sedikit oleh bidan pengantin di rumah masing-masing calon pengantin. Kemudian pada sore harinya diadakan mandi berhias, yaitu mandi dengan wangi-wangian dari beberapa jenis bunga.` Nasi hadap-hadapan, adalah upacara makan antara kedua pengantin yang diikuti oleh seluruh keluarga kedua belah pihak. Mandi berdimbar, adalah upacara mandi di halaman rumah pengantin perempuan. Saat mandi ini semua keluarga turut menyiramkan air ke tubuh kedua pengantin. Begitu juga kedua pengantin memercikan air kepada para keluarga.
Beberapa kosakata dapat juga ditemukan pada upacara tradisional, yaitu tolak bala, adalah sejenis upacara yang berbau ritual, upacara ini disenggarakan oleh anggota masyarakatnya secara teratur dari waktu ke waktu yang genting, gawat, bahaya, dan penuh dengan rintangan hal-hal yang gaib. Jamuan laut, masyarakat Melayu, terutama para nelayan mempercayai seluruh lautan dikuasai oleh kuasa makhluk halus, yaitu jin dan roh jahat. Jin yang di laut digelar mambang laut. Menurut kepercayaan masyarakatnya, mambang laut terbagi delapan penguasa dan tinggal di delapan penjuru mata angin, yaitu mata angin Mayang Mengurai, Laksamana, Datuk Panglima Hitam, Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju, Katimah, Panglima Merah, Babu Rahman di mata angin Babu Rahim. Dari delapan jin laut tersebut empat dari mambang itu merupakan penguasa para jin dan kepada merekalah jamuan laut ditujukan. Keempat jin laut itu adalah Datuk Panglima Hitam penguasa utara yang menjadi pemimpin agung, Mambang Kali Arus penguasa di bagian selatan, Mayang Mengurai penguasa di bagian timur, dan Katimah di sebelah barat. Upacara jamuan laut dikemas dalam beberapa tahapan aktivitas, yaitu (a) pemancangan panji dan pembuatan balai, (b) penyembelihan hewan, menguras pantai, dan mengantar sesajen, (c) barzanji dan doa, (d) pengumuman pantangan, dan (e) makan bersama. Aktivitas upacara diselingi dengan gotong royong membersihkan lingkungan menjelang pelaksanaan upacara. Harapan dari upacara jamuan laut ini adalah para jin mambang laut tidak murka kepada para nelayan yang mengambil ikan dan memberikan tangkapan yang melimpah kepada mereka atas rida Tuhan. Puako, adalah sejenis upacara yang juga berbau ritual. Upacara ini dilakukan berdasarkan klan dari setiap keluarga. Puako adalah singkatan dari kata ‘pusaka’ yang menjadi sebutan untuk seekor hewan peliharaan yang dianggap dapat melindungi keluarga tersebut dari mara-bahaya. Hewan-hewan yang biasanya menjadi simbol puako itu misalnya seekor ayam jantan biring besi, kambing berwarna hitam, kerbau, dan lembu. Hewan-hewan ini disembelih bila telah sampai waktunya atau dapat juga disembelih suatu saat, jika dalam satu keluarga itu ada yang ditimpa musibah.
Belakangan ini T. Syarfina sedang meneliti mengenai pola ucap bahasa Melayu dialek Deli untuk keperluan disertasi beliau, akan tetapi apa yang diteliti ini juga tidak ada upaya untuk menemukan sumbangan kosakata bahasa Melayu dialek Deli untuk perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia.
Pertanyaan terakhir, mengapa sulit menemukan kosakata baru bahasa Melayu yang dapat menyumbang untuk kosakata bahasa Indonesia? Jawabnya jelas, seperti diungkap di awal tadi, dikarenakan bahasa Indonesia itu sendiri berasal dari bahasa Melayu. Jadi dengan demikian, berarti sudah habislah usaha dan upaya untuk terus meneliti sumbangsih bahasa Melayu untuk penambahan kosakata bahasa Indonesia.


4. BAHASA ETNIS DAN KESANTUNAN LOKAL

Fungsi utama bahasa di dalam masyarakat adalah sebagai alat interaksi sosial, walau bukan satu-satunya alat interaksi sosial. Selain bahasa, masih banyak alat lain yang dapat digunakan sebagai alat interaksi sosial tersebut. Tetapi apabila dibandingkan dengan media lainnya itu, bahasa merupakan alat yang paling penting dan paling lengkap serta paling sempurna dalam melaksanakan interaksi. Bahasa karenanya tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan dari semua kegiatan aksi, tindakan, dan kerja manusia di dalam segala segi kehidupan dan penghidupannya.
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan budaya manusia, karena antara bahasa dan budaya ada semacam hubungan timbal balik (kausalitas). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya berhubungan dengan cara hidup karena cara hidup ini berkaitan dengan cara berkomunikasi.
Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia, sedangkan pada gilirannya budaya manusia banyak pula dipengaruhi oleh bahasa. Sejarah bahasa memang telah mengemukakan adanya dua pandangan atau pendapat yang saling bertentangan.
Brown dan Levinson (1987), pernah mengkaji kesantunan berdasarkan image pribadi publik. Mereka berpendapat bahwa kesantunan melibatkan kesadaran atau keinginan muka seseorang. Keinginan muka adalah keinginan untuk diterima dan disukai orang lain dan keinginan agar kelompok sosialnya diakui. Selanjutnya keinginan muka ini dibagi menjadi negatif dan positif. Keinginan muka positif berkaitan dengan citra seseorang tentang dirinya sendiri sedangkan keinginan muka negatif berhubungan dengan teori atau wilayah orang lain atau dengan martabat orang lain. Keinginan untuk dapat disenangi, diakui dan diterima, dibutuhkan siasat berkomunikasi atau tepatnya siasat kesantunan yang berdasarkan keinginan muka yang dibedakan atas kesantunan positif dan kesantunan negatif. Kesantunan negatif yaitu memberikan respek dan menghindari kekasaran terhadap petutur dan menekankan kebebasan petutur dari pembebanan dan meminimalkan perbedaan.
Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati dalam perilaku sosial.
Ada beberapa hal yang perlu diulas mengenai definisi kesantunan menurut Fraser. Pertama, kesantunan itu adalah bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini “diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Teori Hudson (1980) yang menyatakan bahwa bahasa, yang dilingkupi oleh ranah budaya, sering mencerminkan nilai-nilai budaya yang khas melalui ungkapan kebahasaan yang khas pula.

5. PENUTUP

Dari semua aspek kehidupan manusia, bahasa merupakan yang paling signifikan. Karena dengan bahasa manusia berkomunikasi, menciptakan keindahan, menyatakan perasaan-perasaannya yang paling signifikan maupun yang paling tidak signifikan, menyampaikan pengetahuan dan kebudayaan dari generasi ke generasi, dari angkatan ke angkatan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.