Minggu, 05 Oktober 2008

BAHASA MELAYU DI SUMUT, MENELUSURI SEJARAH DALAM PEMBELAJARAN BUDAYA LOKAL


BAHASA MELAYU DI SUMUT, MENELUSURI SEJARAH DALAM PEMBELAJARAN BUDAYA LOKAL
Abstrak
Persoalan bahasa kita sedikit agak berbeda. Bahasa yang berasal dari kebudayaan kita sendiri pada umumnya ada dua, yakni bahasa etnik (daerah) dan bahasa Indonesia. Bahasa etnik lebih dominan di pedesaan dan bahasa Indonesia lebih dominan di kota-kota. Orang yang lahir dan dibesarkan di kota ada yang tidak dapat lagi berbahasa daerah, tetapi mungkin sudah dapat berbahasa asing. Jadi, jika orang Indonesia tidak dapat lagi berbahasa daerah, tetapi dapat berbahasa asing, maka orang itu sudah kehilangan salah satu kebudayaannya yang asli dan mendapat kebudayaan yang baru dari segi bahasa. Di samping itu, kekeliruan yang terjadi adalah orang lebih bangga berbahasa asing daripada berbahasa daerah. Orang seperti itu menghormati kebudayaan asing dan merendahkan kebudayaannya sendiri.
1. PENDAHULUAN
Pertanyaan yang harus dijawab oleh para ahli budaya berkenaan dengan definisi kebudayaan adalah untuk apakah kebudayaan bagi masyarakatnya atau mengapa masyarakat perlu mempertahankan kebudayaannya. Secara pragmatis, kebudayaan adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya. Oleh karena itu, kebudayaan hanya dapat membahagiakan masyarakatnya tanpa ada hubungan dengan peningkatan kesejahteraan mereka atau kadang-kadang hanya menonjol pada peningkatan kesejahteraan tanpa secara langsung memperlihatkan kedamaian pada diri mereka.
Paling tidak, ada enam hal penting yang harus dipedomani dalam meredefinisikan kebudayaan, yakni (1) segala kebiasaan yang dimiliki kelompok masyarakat, (2) pengetahuan yang ditransmisi dan dikomunikasikan secara sosial, (3) tercermin dan terwujud dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia, (4) pedoman untuk memahami lingkungan manusia dan untuk berinteraksi dalam kehidupan masyarakat, (5) harus dipelajar, dan (6) menyejahterahkan dan/atau membahagiakan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai berikut. Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan/atau kesejahteraan manusia akan punah secara alamiah.
Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin

2. PERJALANAN BAHASA MELAYU DI SUMUT

Esa elang kedua belalang
Takkan kayu berbatang jerami
Esa hilang dua terbilang
Takkan Melayu hilang di bumi

Perkembangan ilmu dan teknologi, jika tidak diimbangi dengan percepatan pengembangan kosakata/istilah dengan sungguh-sungguh, akan menimbulkan dampak luar biasa terhadap peri-kehidupan masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa asing makin mendesak ruang penggunaan bahasa Indonesia dan ini yang sekarang sedang terjadi. Kebanggaan masyarakat akan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa telah memudar. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengembalikan kewibawaan bahasa Indonesia. Salah satu langkah yang harus ditempuh adalah melalui pemanfaatan budaya daerah (Sugono, 2005). Di Nusantara setidaknya ada 726 bahasa daerah, sementara di Sumatera Utara dari jumlah suku yang ada setidaknya ada sembilan bahasa daerah, termasuk di dalamnya bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang ada di Sumatera Utara terdiri atas beberapa dialek. Tulisan ini berupaya menelusuri perjalanan bahasa Melayu yang ada di Sumatera Utara (dahulu dikenal Sumatera Timur). Untuk menelusuri hal tersebut dapat dilihat dari beberapa referensi lama.
Salah satu referensi lama itu adalah buku Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863—1947, dalam buku ini dijelaskan bahwa selama abad ke-17 hingga paruh pertama abad ke-19, Aceh dan Siak adalah dua kerajaan terpenting di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini selalu memperebutkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Sumatera Timut seperti Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Kualuh, Panai, dan Bilah. Peta-peta bahasa suku Sumatera memperlihatkan suatu jalur lebar tentang penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan. (Lihat Peta 9b oleh S.J. Esser dalam Atlas van Tropisch Nederland (Batavia, 1938). Dijelaskan bahwa pada daerah-daerah pesisir ini sudah banyak dihuni oleh pemukiman suku Karo dan Simalungun. Menurut Anderson, bahwa hanya kampung-kampung pada bagian sungai-sungai yang lebih ke hilir saja yang dihuni oleh masyarakat Islam yang berbahasa Melayu. Umumnya mereka adalah imigran Melayu dari Jambi, Palembang, dan Semenanjung Malaysia, serta beberapa keturunan dari Minangkabau, Bugis, dan Jawa. Masih menurut Anderson bahwa pada masa lampau suku Karo menghuni pantai Langkat, Deli, dan Serdang, sementara suku Simalungun di pantai Batubara, tetapi akhirnya berangsur-angsur terdesak ke hulu (daerah pegunungan), ada juga yang berbaur dengan unsur pendatang Melayu melalui perkawinan campuran. Kepala-kepala suku Melayu Batubara mengawini putri-putri kepala-kepala suku Simalungun. Di Deli terjadi perkawinan campuran antara penguasa Deli dengan putri-putri kepala suku Karo. Bekas keluarga-keluarga penguasa Asahan konon adalah keturunan Batak Toba, sedangkan di Langkat adalah keturunan Karo, tetapi telah masuk Islam sejak beberapa generasi. Pada awalnya kampung-kampung yang ada di Belawan dihuni oleh suku Karo yang tidak beragama (animisme). Orang-orang Batak yang beralih memeluk agama Islam segera mulai mengikuti adat kebiasaan Melayu, menggunakan dua bahasa, mengambil nama-nama Islam, dan menganggap diri mereka sebagai orang Melayu. Dalam sastra lisan ada sebuah pantun yang melambangkan beralihnya orang Batak menjadi orang Melayu: /bukan kampak sembarang kampak/ /kampak ini pembelah kayu/ /bukan batak sembarang batak/ /batak sudah menjadi melayu/.
Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang menganut agama Islam, berbahasa Melayu, dan mengamalkan adat-istiadat Melayu. Sehingga ada pepatah mengatakan bahwa masuk Islam (memeluk agama Islam bagi agama dan suku bangsa lain) disebut masuk Melayu. Hal ini membuka pintu kepada siapa saja untuk menjadi Melayu. Jadi masyarakat atau orang Melayu itu adalah suku bangsa secara budaya bukan secara persamaan darah turunan (geneologis). Dalam adat kekeluargaan orang Melayu menganut sistem parental atau kedudukan pihak ibu dan pihak bapak sama.
Landasan hidup masyarakat Melayu adalah ‘adat bersendi hukum syarak, syarak bersendi kitabullah’. Ini mengisyaratkan bahwa semua adat-istiadat haruslah mengacu pada hukum syarak yang berdasarkan kitabullah, al-Quran. Dalam kehidupan bernegara dikenal pedoman hidup pada masyarakat Melayu yaitu ‘raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah’. Pepatah ini memperlihatkan bahwa masyarakat Melayu sangat mendukung pemimpin yang adil dan bijaksana, tetapi tidak menyukai pemimpin yang tidak adil. Hal ini sejalan dengan sifat utama masyarakat Melayu itu, yaitu jujur dalam berdagang, berani menghadapi lautan, jarang terlibat soal kriminal, dan sangat suka kepada tegaknya hukum.
Perang Jawa (1825—1830), yang terjadi karena pemberontakan Pangeran Diponegoro, mencegah Belanda memperluas daerah di Sumatera segera sesudah tahun 1824, karena sebagian besar pasukan dan dana diperlukan di Jawa. Bagian pertama Sumatera, yang memerlukan perhatian militer, adalah daerah pedalaman Sumatera Barat di pantai barat. Di sana kaum Paderi melancarkan perang di Padang darat dan mulai memasuki daerah paling selatan, yaitu Mandailing dan Angkola, di mana pada kedua daerah banyak orang masuk Islam. Bonjol sebagai benteng pertahanan kaum Paderi direbut oleh Belanda dan lepas lagi, tetapi akhirnya diserbu lagi untuk kedua kalinya tahun 1837. Mandailing juga diduduki. Pemimpin Paderi Haji Mohamad Saleh yang terkenal sebagai Tuanku Tambusai melarikan diri ke Angkola setelah Bonjol jatuh. Kemudian Belanda menguasai daerah Padang Lawas sampai Kotapinang, kemudian menyerang Dalu-dalu di tepi Sosa. Menjelang akhir 1838, Mandaling dan Angkola serta lembah sungai Rokan dan sungai Barumun yang merupakan sebagian dari Sumatera Timur kembali berada dalam kekuasaan Belanda. (lihat “Het inbezitnemen en ontruimen van etablissemnten op de Oostkust van Sumatra, “Tijdschrift van Nederlandsch Indie (1853), bagian 2, hlm. 59—60).
Karena banyaknya protes dari kalangan pedagang Inggris yang berkedudukan di Penang, Malaysia terhadap perdagangan Belanda di Sumatera Timur, akhirnya Belanda menarik diri dari Sumatera Timur. Inggris sangat berminat mencegah setiap perluasan kekuasaan Belanda atas Sumatera Timur, terutama Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan. Pada tahun 1854, Siak terpaksa melepas kekuasaannya atas kerajaan taklukannya seperti Langkat, Deli, dan Serdang, begitu juga Asahan. Tahun 1862 Asahan menyatakan bahwa mereka berdaulat atas kerajaan kecil seperti Ledong, Kualuh, dan Batubara serta menolak mengakui kekuasaan Siak maupun Hindia Belanda. Sementara itu Tamiang dan Serdang dikuasai oleh Aceh. Tahun 1862 Netscher mengunjungi Panai, Bilah, Serdang, Deli, dan Langkat semua kerajaan ini menolak kekuasaan Siak atas kerajaan mereka. Begitu juga Deli dan Asahan. Pada tahun 1863 Aceh bersiap untuk menyerang Deli dan Asahan siap membantu Aceh begitu secara politis Serdang mendukung kebijakan itu.
Pada perkembangan berikutnya, saat tumbuhnya perusahaan-perusahaan perkebunan asing di Sumatera Timur mulailah dirintis sarana transportasi. Pembangunan jalan-jalan dari daerah mulai dilaksanakan dimulai dari perbatasan Aceh melalui Pangkalan Berandan, Tanjungpura, Binjai, Medan, Lubukpakam, Tebingtinggi, Kisaran, Rantauprapat, Kabanjahe, Labuhanbilik, Sungai Bilah, Negerilama, Labuhandeli, Kuala Tanjung, Indrapura, Tanjungtiram, Limapuluh dan seterusnya. Dampaknya bertumbuhanlah pemukiman-pemukiman besar di sepanjang jalan. Khususnya banyak dihuni oleh pendatang dari tanah Batak untuk wilayah Asahan dan Labuhanbatu. Hal ini membuat satu asimilasi kebudayaan termasuk di dalamnya bahasa. Ini sejalan dengan pandangan orang Melayu bahwa adat istiadat kebiasaan itu tidak berarti bahwa adat kebiasaan tidak bisa berubah. Jika sesuatu hal dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman, kebiasaan atau adat-istiadat tadi berubah tanpa reaksi dari masyarakat pendukung aslinya. Ini sesuai pepatah Melayu : “sekalipun air bah, sekali tepian berubah”.

3. DIALEK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN KOSAKATA

Banyaknya tumbuh permukiman ini membuat terjadinya asimilasi dalam hal kebudayaan termasuk bahasa. Di wilayah Sumatera Timur, para imigran yang datang dari luar Sumatera Timur sangat mudah beradaptasi, mereka melakukan perkawinan campuran lalu menerima lahan pertanian. Sementara di daerah Batak, para imigran sangat sukar mendapatkan lahan, karena lahan tanah merupakan milik adat (marga) tidak sembarangan dapat diberikan kepada pendatang. Kenyataan ini membuat percampuran bahasa juga begitu cepat terjadi di Sumatera Timur, walaupun masih mengacu pada akarnya yaitu bahasa Melayu. Kenyataan ini juga membuat bahasa Melayu di Sumatera Timur hadir dalam berbagai dialek, antara lain bahasa Melayu dialek Langkat yang populasinya berada di sekitar Kabupaten Langkat dan Kota Binjai. Bahasa Melayu dialek Deli/Serdang yang populasinya antara Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang. Bahasa Melayu dialek Bandarkalipah yang populasinya antara sebagian Kabupaten Deliserdang, kemudian Kabupaten Serdangbedagai, Kota Tebingtinggi, dan Pagurawan (Kabupaten Batubara), bahasa Melayu dialek Batubara yang populasinya berada di wilayah sekitar Batubara (yakni mulai Kecamatan Medangderas, Sei Suka, Air Putih, Limapuluh, Talawi, Tanjungtiram, dan Sei Balai). Bahasa Melayu dialek Asahan populasinya terpokus di Kisaran dan perbatasan dengan Kota Tanjungbalai. Bahasa Melayu dialek Tanjungbalai di sekitar Kota Tanjungbalai. Bahasa Melayu juga hadir dalam beberapa dialek di Kabupaten Labuhanbatu yaitu bahasa Melayu dialek Panai, bahasa Melayu dialek Bilah, bahasa Melayu dialek Kualuh.
Dari dialek-dialek ini sebenarnya tidak banyak perbedaan yang mencolok, hanya dari segi pengucapan beberapa kata tertentu. Misalnya di Langkat untuk menyebutkan kata ‘apa’ diucapkan ‘ape’; di Deli/Serdang diucapkan ‘maya’, di Batubara dan Asahan diucapkan ‘apo’. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya daerah-daerah ini pada mulanya dihuni oleh para imigran Melayu dari Jambi, Palembang, Riau dan Semenanjung Malaysia. Ada juga sebagian dari Minangkabau seperti di Batubara. Di daerah Batubara sampai saat ini banyak beberapa nama daerah persis sama dengan nama daerah yang ada di Sumatera Barat, misalnya ‘pesisir’, ‘limapuluh’, ‘tanahdatar’.
Pertanyaan mendasar dari segi bahasa adalah, apakah ada kosakata antara beberapa dialek Melayu yang ada di Sumatera Timur ini menyumbang pada perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Menurut Dendy Sugono daftar kata embrio bahasa di Indonesia dimulai dari catatan kosakata tertua adalah daftar kata Cina-Melayu pada awal abad ke-15 yaitu sebanyak 500 lema dan daftar kata Italia-Melayu oleh Pigafetta pada tahun 1522. Dari daftar kata berkembang ke perkamusan; kamus yang dapat dikatakan tertua ialah Spraeck ende Woord-boek, Indie Maleysche ende Madagaskarcshe Talen met vele Arabicshe ende Turcische Woorden karangan Frederick de Houtman pada tahun 1603. Dua puluh tahun kemudian (1623) Casper Wiltens dan Sebastianus Danckaerts menyusun Vokabularium ofte Woortboek naer order vanden Alphabet in ‘t Duytsch-Meleysch ende Maleysche Duytsch. Kemudian, muncullah karya orang Indonesia, Kitab Pengetahuan Bahasa, Kamus Logat Melayu-Johor-Pahang-Riau oleh Raja Ali Haji. Pada masa hidupnya pula Raja Ali Haji menulis Pelajaran Ejaan dan Tata Bahasa, Bustanulkatibina (1857). Dari pandangan ini jelas bahwa pendapat umum yang mengatakan dan telah ditasbihkan bahwa cikal bakal bahasa Indonesia itu adalah berasal dari bahasa Melayu Riau. Hal ini diperkuat bahwa kehadiran bahasa Indonesia lebih mengacu pada naskah-naskah yang sudah tertulis. Sementara di Sumatera Timur sampai saat ini tidak ada ditemukan sebuah naskah pun yang berbicara tentang ilmu kebahasaan.
Pada tahun 1994, penulis bersama Wan Syaifuddin berhasil menemukan sebuah naskah lisan tentang syair di Batubara, akan tetapi naskah lisan ini sudah banyak mengalami percampuran bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Sementara Dwi Widayati, yang meneliti variasi leksikal bahasa Melayu Asahan dengan wilayah penelitian beliau di delapan daerah yaitu Kuala Tanjung, Guntung, Masjid Lama, Limalaras, Air Joman, Bagan Asahan, Datuk Bandar, dan Sei Kepayang. Dari analisis beliau juga tidak ditemukan satu kosakata yang berarti untuk disumbangkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Nurhayati Lubis dan Zubeirsyah yang berhasil menyusun Kamus Dwibahasa Melayu Asahan-Indonesia (A—M) tidak juga ada kosakata yang dapat disumbangkan dalam kosakata bahasa Indonesia. Begitu juga T. Syarfina saat meneliti bahasa kekerabatan pada masyarakat Melayu Deli juga tidak ditemukan kosakata yang dapat disumbangkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Hermansyah dalam penelitian terhadap kalimat bahasa Melayu dialek Langkat juga tidak ditemukan apa yang diinginkan oleh bahasa Indonesia. Kesemuanya hanya bermain pada dialek saja, sementara kosakata-kosakata yang diteliti umumnya ada dan/atau sudah ada pada lema bahasa Indonesia yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Satu hal yang menarik justru pada bahasa Melayu dialek Asahan, bila kita membaca Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta sangat banyak kemiripan. Padahal jelas dalam KUBI tersebut kata-kata itu berasal dari bahasa Minangkabau, maka setidaknya untuk sementara dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu dialek Asahan sangat banyak terpengaruh pada bahasa Minangkabau sebagaimana juga yang disimpulkan oleh Dwi Widayati. Zubeirsyah juga menyimpulkan pada bahasa Melayu dialek Bandarkalipah tidak ditemukan unsur kosakata baru yang mampu disumbangkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. T. Syarfina (2003) yang meneliti bahasa Melayu dialek Bilah juga tidak hadir unsur kosakata baru. Penulis sendiri (Sahril) bersama tim pada tahun 1987 pernah meneliti bahasa Melayu dialek Panai juga hasilnya sama, hanya berkisar bermain pada dialek saja.
Namun, pada catatan buku Karl J. Pelzer ditemukan beberapa kosakata, misalnya nama tumbuhan yang mungkin hanya ditemukan di wilayah Sumatera Timur, misalnya “nibung” atau oncosperma filamentosum sejenis kayu yang banyak dibuat untuk tiang rumah dan jembatan, “nipah” sejenis tumbuhan daunnya dibuat untuk atap rumah, “bamban” atau donax arundastrum sebagai sarana untuk menjalin daun nipah itu menjadi atap, “tualang” sejenis kayu yang banyak dijadikan tempat bersarangnya lebah.
Satu hal lagi dari adat istiadat perkawinan mungkin dapat ditemukan istilah atau kosakata yang agak lain dari kosakata bahasa Indonesia, antara lain; merisik, adalah sejenis upacara menyelidiki anak gadis seseorang yang diinginkan oleh seorang pemuda. Seandainya satu keluarga mempunyai seorang gadis yang sudah akil balig dan dikehendaki oleh seorang pemuda, maka si pemuda mengabarkan secara tidak langsung kepada kedua orang tuanya. Jika mereka setuju akan calon mempelai, maka ditugaskanlah secara diam-diam seorang atau beberapa orang wanita tua yang dikenal baik oleh keluarga si gadis untuk menyelidiki, apakah baik prilakunya, rupanya, dan agamanya. Perisik dalam hal ini disebut dengan istilah ‘penghulu telangkai’. Jamu sukut, adalah upacara pemberian upah oleh pihak laki-laki kepada penghulu telangkai dan upacara jamuan makan bagi pihak perempuan yang juga sangat berterima kasih kepada penghulu telangkai yang telah menjodohkan putri mereka. Meminang, adalah upacara melamar anak gadis yang akan dijodohkan dengan seorang pemuda yang sudah disepakati pada saat merisik. Ikat janji, adalah upacara penetapan hal-hal yang disepakati oleh kedua belah pihak ketika pada upacara meminang. Misalnya penetapan berapa jumlah uang antaran (uang lamaran), “uang hangus” (uang cuci kaki) untuk biaya peralatan pengantin perempuan, ikat tanda (berupa cincin), dan hari pernikahan. Berinai, yaitu memberi warna pada kuku dengan daun inai atau daun pacar. Berandam dan mandi berhias, adalah upacara memotong rambut sedikit oleh bidan pengantin di rumah masing-masing calon pengantin. Kemudian pada sore harinya diadakan mandi berhias, yaitu mandi dengan wangi-wangian dari beberapa jenis bunga.` Nasi hadap-hadapan, adalah upacara makan antara kedua pengantin yang diikuti oleh seluruh keluarga kedua belah pihak. Mandi berdimbar, adalah upacara mandi di halaman rumah pengantin perempuan. Saat mandi ini semua keluarga turut menyiramkan air ke tubuh kedua pengantin. Begitu juga kedua pengantin memercikan air kepada para keluarga.
Beberapa kosakata dapat juga ditemukan pada upacara tradisional, yaitu tolak bala, adalah sejenis upacara yang berbau ritual, upacara ini disenggarakan oleh anggota masyarakatnya secara teratur dari waktu ke waktu yang genting, gawat, bahaya, dan penuh dengan rintangan hal-hal yang gaib. Jamuan laut, masyarakat Melayu, terutama para nelayan mempercayai seluruh lautan dikuasai oleh kuasa makhluk halus, yaitu jin dan roh jahat. Jin yang di laut digelar mambang laut. Menurut kepercayaan masyarakatnya, mambang laut terbagi delapan penguasa dan tinggal di delapan penjuru mata angin, yaitu mata angin Mayang Mengurai, Laksamana, Datuk Panglima Hitam, Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju, Katimah, Panglima Merah, Babu Rahman di mata angin Babu Rahim. Dari delapan jin laut tersebut empat dari mambang itu merupakan penguasa para jin dan kepada merekalah jamuan laut ditujukan. Keempat jin laut itu adalah Datuk Panglima Hitam penguasa utara yang menjadi pemimpin agung, Mambang Kali Arus penguasa di bagian selatan, Mayang Mengurai penguasa di bagian timur, dan Katimah di sebelah barat. Upacara jamuan laut dikemas dalam beberapa tahapan aktivitas, yaitu (a) pemancangan panji dan pembuatan balai, (b) penyembelihan hewan, menguras pantai, dan mengantar sesajen, (c) barzanji dan doa, (d) pengumuman pantangan, dan (e) makan bersama. Aktivitas upacara diselingi dengan gotong royong membersihkan lingkungan menjelang pelaksanaan upacara. Harapan dari upacara jamuan laut ini adalah para jin mambang laut tidak murka kepada para nelayan yang mengambil ikan dan memberikan tangkapan yang melimpah kepada mereka atas rida Tuhan. Puako, adalah sejenis upacara yang juga berbau ritual. Upacara ini dilakukan berdasarkan klan dari setiap keluarga. Puako adalah singkatan dari kata ‘pusaka’ yang menjadi sebutan untuk seekor hewan peliharaan yang dianggap dapat melindungi keluarga tersebut dari mara-bahaya. Hewan-hewan yang biasanya menjadi simbol puako itu misalnya seekor ayam jantan biring besi, kambing berwarna hitam, kerbau, dan lembu. Hewan-hewan ini disembelih bila telah sampai waktunya atau dapat juga disembelih suatu saat, jika dalam satu keluarga itu ada yang ditimpa musibah.
Belakangan ini T. Syarfina sedang meneliti mengenai pola ucap bahasa Melayu dialek Deli untuk keperluan disertasi beliau, akan tetapi apa yang diteliti ini juga tidak ada upaya untuk menemukan sumbangan kosakata bahasa Melayu dialek Deli untuk perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia.
Pertanyaan terakhir, mengapa sulit menemukan kosakata baru bahasa Melayu yang dapat menyumbang untuk kosakata bahasa Indonesia? Jawabnya jelas, seperti diungkap di awal tadi, dikarenakan bahasa Indonesia itu sendiri berasal dari bahasa Melayu. Jadi dengan demikian, berarti sudah habislah usaha dan upaya untuk terus meneliti sumbangsih bahasa Melayu untuk penambahan kosakata bahasa Indonesia.


4. BAHASA ETNIS DAN KESANTUNAN LOKAL

Fungsi utama bahasa di dalam masyarakat adalah sebagai alat interaksi sosial, walau bukan satu-satunya alat interaksi sosial. Selain bahasa, masih banyak alat lain yang dapat digunakan sebagai alat interaksi sosial tersebut. Tetapi apabila dibandingkan dengan media lainnya itu, bahasa merupakan alat yang paling penting dan paling lengkap serta paling sempurna dalam melaksanakan interaksi. Bahasa karenanya tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan dari semua kegiatan aksi, tindakan, dan kerja manusia di dalam segala segi kehidupan dan penghidupannya.
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan budaya manusia, karena antara bahasa dan budaya ada semacam hubungan timbal balik (kausalitas). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya berhubungan dengan cara hidup karena cara hidup ini berkaitan dengan cara berkomunikasi.
Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia, sedangkan pada gilirannya budaya manusia banyak pula dipengaruhi oleh bahasa. Sejarah bahasa memang telah mengemukakan adanya dua pandangan atau pendapat yang saling bertentangan.
Brown dan Levinson (1987), pernah mengkaji kesantunan berdasarkan image pribadi publik. Mereka berpendapat bahwa kesantunan melibatkan kesadaran atau keinginan muka seseorang. Keinginan muka adalah keinginan untuk diterima dan disukai orang lain dan keinginan agar kelompok sosialnya diakui. Selanjutnya keinginan muka ini dibagi menjadi negatif dan positif. Keinginan muka positif berkaitan dengan citra seseorang tentang dirinya sendiri sedangkan keinginan muka negatif berhubungan dengan teori atau wilayah orang lain atau dengan martabat orang lain. Keinginan untuk dapat disenangi, diakui dan diterima, dibutuhkan siasat berkomunikasi atau tepatnya siasat kesantunan yang berdasarkan keinginan muka yang dibedakan atas kesantunan positif dan kesantunan negatif. Kesantunan negatif yaitu memberikan respek dan menghindari kekasaran terhadap petutur dan menekankan kebebasan petutur dari pembebanan dan meminimalkan perbedaan.
Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati dalam perilaku sosial.
Ada beberapa hal yang perlu diulas mengenai definisi kesantunan menurut Fraser. Pertama, kesantunan itu adalah bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini “diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Teori Hudson (1980) yang menyatakan bahwa bahasa, yang dilingkupi oleh ranah budaya, sering mencerminkan nilai-nilai budaya yang khas melalui ungkapan kebahasaan yang khas pula.

5. PENUTUP

Dari semua aspek kehidupan manusia, bahasa merupakan yang paling signifikan. Karena dengan bahasa manusia berkomunikasi, menciptakan keindahan, menyatakan perasaan-perasaannya yang paling signifikan maupun yang paling tidak signifikan, menyampaikan pengetahuan dan kebudayaan dari generasi ke generasi, dari angkatan ke angkatan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Tidak ada komentar: